PENGABDIAN TANPA BATAS DENGAN FASILITAS TERBATAS
Papua atau yang dahulu di kenal dengan nama Irian Jaya menjadi pulau terluas di Indonesia dengan wilayah seluas 768.000 Km². Papua saat ini memiliki enam provinsi yaitu Provinsi Papua dengan ibukota di Jayapura, Papua Barat di Manokwari, lalu empat provinsi baru yaitu Papua Barat Daya beribukota di Sorong, Papua Tengah di Nabire, Papua Selatan di Kota Merauke dan terakhir Papua Pegunungan di Jayawijaya. Kabupaten Paniai merupakan suatu kota kecil di daerah pegunungan dengan ketinggian 1700 M di atas permukaan laut. Paniai terletak di Provinsi Papua Tengah, dengan jarak kurang lebih 290 Km dari Nabire sebagai ibu kota provinsi.
Rumah Sakit Umum Daerah Paniai (RSUD Paniai) adalah tempatku mengabdi sejak tahun 2009, kemudian menempuh pendidikan dokter spesialis orthopaedi pada tahun 2013 di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kembali ke RSUD Paniai sebagai spesialis Orthopaedi sejak tahun 2019. Saat ini saya menjadi satu-satunya dokter orthopaedi di Provinsi Papua Tengah. RSUD Paniai melayani masyarakat tiga kabupaten di sekitar Kabupaten Paniai itu sendiri, yaitu Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Puncak Jaya. Beberapa kasus orthopaedi dari Nabire sering juga di rujuk ke RSUD Paniai.
Perjalanan pasien dari Nabire di tempuh menggunakan pesawat kecil jenis Cessna Caravan atau Pilatus apabila jalur darat mengalami tanah longsor, kerusuhan, dan “pemalangan” oleh penduduk sekitar sehingga akses jalan darat tidak bisa di lalui. Pasien dari Puncak Jaya bahkan harus menempuh jalan kaki sekitar dua hari untuk bisa mencapai ke RSUD Paniai. RSUD Paniai merupakan rumah sakit tipe D dengan daya tampung pasien orthopaedi saat ini hanya empat tempat tidur, karena sedang masa pembangunan bangsal ruang bedah. Kasus orthopaedi yang dapat saya kerjakan di dominasi kasus trauma pada alat gerak, karena keterbatasan fasilitas.
Mengabdi kepada masyarakat serta mengamalkan ilmu yang sudah di terima kepada sesama terutama untuk tanah Papua, menjadi amanat yang diberikan oleh guru-guru saya selama menempuh pendidikan dokter spesialis di UGM. Saat pendidikan kami banyak mengerjakan kasus menggunakan peralatan canggih dan rumit, tetapi kami juga di persiapkan apabila nantinya bekerja dengan fasilitas terbatas seperti yang saat ini saya alami. Hal ini yang terus memotivasi saya untuk terus belajar demi bisa melayani masyarakat Papua dan Paniai khususnya. Guru dan para senior juga tidak sungkan memberikan masukkan pada beberapa kasus yang saya konsulkan selama saya di Paniai.
Pengalaman berharga bagi saya selama melayani pasien di RSUD Paniai, selain kendala bahasa, notabene masih banyak masyarakat yang belum fasih menggunakan Bahasa Indonesia. Saat pertama datang saya mengalami “shock culture” melihat masyarakat terbiasa membawa senjata tajam berupa parang maupun panah. Watak masyarakat asli Paniai beberapa memang keras, bahkan saya pernah di ancam, pada kasus sensitif saat terjadi curiga penembakan oleh oknum aparat. Hidup berbaur dengan masyarakat asli adalah kunci untuk bisa dekat dan memahami karakter mereka, salah satunya ikut kegiatan gereja.
Tarian asli masyarakat yang wanita telanjang dada dan pria hanya menggunakan koteka pada setiap perayaan hari raya besar di gereja. Bahkan banyak pasien masyarakat asli yang memberikan sedikit dari kekurangan mereka berupa hasil kebun dan ternak mereka, rasa haru meliputi saat mereka dengan susah payah jauh-jauh dari rumahnya membawa saat kontrol rawat jalan di poliklinik orthopaedi. Segan rasanya menolak pemberian mereka yang dengan tulus berterima kasih apabila pasien sendiri atau salah satu anggota keluarga yang telah sembuh. Tantangan terbesar selama melayani pasien orthopaedi di RSUD Paniai selain karena keterbatasan fasilitas , juga kamar operasi yang belum memenuhi standar pelayanan. Di samping itu juga kendala geografis Kabupaten Paniai sendiri, yang kadang untuk bisa menghadiri suatu acara ilmiah misalnya di Jakarta, saya harus menempuh perjalanan pesawat kecil Cessna atau Pilatus ke Timika atau Nabire sebagai bandara komersil terdekat dari Paniai.
Lalu transit di Makassar kemudian dilanjutkan ke Jakarta. Sinyal seluler hilang pun kami di sini sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi apabila mengikuti “Live Webinar” kadang juga tidak maksimal, suara narasumber terdengar terputus-putus. Saya berharap dukungan dari pemerintah Paniai dan Provinsi Papua Tengah untuk bisa lebih memajukan pelayanan orthopaedi di RSUD Paniai dan Provinsi Papua Tengah untuk kesehatan masyarakat yang lebih baik. Serta saya sangat berharap untuk masih bisa mengembangkan diri dan cita- cita melanjutkan pendidikan Sub Spesialis dapat tercapai. Semoga teman sejawat orthopaedi lainnya dapat keluar dari zona nyaman dan mengabdi di pedalaman.
dr. Stefanus Hengkie Marseno Sp.OT