Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Covid-19
Sehubungan dengan perkembangan pandemic Covid-19, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia sudah berubah kembali menjadi ke zona merah, bahkan sebagian wilayah menjadi zona hitam dan perlu kami informasikan bahwa beberapa teman sejawat Orthopaedi saat ini telah terinfeksi Covid-19.
Dengan meningkatnya eskalasi kasus Covid-19, maka PP PABOI dan juga tim mitigasi Covid-19 PABOI menghimbau kepada teman sejawat agar dapat:
Harapan kita semua semoga pandemik ini segera berahir.
Jun 22, 2021
See More
Deteksi dini Kanker Tulang
DETEKSI DINI KANKER TULANG
INSIDENSI
Kanker merupakan tumor ganas yang dapat berasal dari sel, jaringan atau organ manapun. Kanker tulang adalah tumor ganas tulang yang dapat berasal dari tulang atau menyerang tulang sehingga menimbulkan disabilitas atau ketidakmampuan melakukan aktivitas harian bagi penderitanya. Secara umum kanker tulang dibagi menjadi dua jenis yaitu kanker tulang primer dan sekunder. Kanker tulang primer merupakan kanker yang berasal dari pertumbuhan abnormal sel tulang ganas. Kanker ini biasa muncul didekat lempeng pertumbuhan yaitu di sekitar persendian. Sel kanker membentuk jaringan tulang baru yang belum sempurna secara cepat sehingga muncul benjolan pada tulang. Semakin cepat pertumbuhan sel tulang baru maka semakin cepat pembesaran benjolan yang menjadi pertanda semakin ganasnya tumor tersebut. Kanker primer tulang terbanyak menyerang anak usia pertumbuhan dan remaja, namun juga dapat menyerang usia dewasa diatas 50 tahun. Ada 25 jenis kanker tulang dengan angka kejadian hanya 1% dari seluruh kanker, namun ada 3 jenis tipe terbanyak yaitu osteosarkoma, sarkoma ewing dan kondrosarkoma. Osteosarkoma menempati urutan pertama dan banyak ditemui pada dekade 2 yaitu usia remaja dan menyerang tulang sekitar persendian lutut dan bahu. Sedangkan sarkoma ewing adalah terbanyak kedua sering menyerang tulang panjang dan ditemui pada dekade 1, usia dibawah 10 tahun. Kondrosarkoma menempati urutan ketiga dan ditemui pada usia dewasa diatas 50 tahun dan sering menyerang tulang sekitar persendian lutut dan tulang panggul. Kanker tulang primer ini dapat menyebar ke paru-paru maupun kelenjar getah bening. Usia dan lokasi tulang yang diserang dapat memberikan petunjuk jenis kanker yang menyerang.
Gambar 1. Korelasi hubungan jenis kanker tulang primer dengan usia
(sumber buku Diagnosis dan Terapi Tumor Muskuloskeletal, Ferdiansyah M, 2018)
Gambar 2. Korelasi antara jenis tumor tulang dan lokasi tulang yang dirusak
(sumber buku Diagnosis dan Terapi Tumor Muskuloskeletal, Ferdiansyah M, 2018)
Kanker tulang sekunder sendiri dapat memiliki dua pengertian. Kanker tulang sekunder yang berasal dari tumor jinak tulang yang berubah/ transformasi menjadi ganas, contohnya adalah kondrosarkoma yang berasal dari osteochondroma, tumor jinak tulang rawan yang mengalami transformasi keganasan. Kanker tulang sekunder dapat berasal dari kanker lain yang bukan bermula dari tulang tetapi dari organ lain yang menyebar ke tulang. Kanker tulang sekunder jenis kedua ini disebut dengan kanker tulang penyebaran. Contohnya adalah kanker tulang penyebaran dari kanker payudara stadium lanjut. Secara umum kanker tulang sekunder banyak ditemui pada usia dewasa tua diatas 50 tahun. Tulang sendiri merupakan tempat ketiga terbanyak dari penyebaran kanker setelah paru-paru dan hati. Kanker tulang penyebaran banyak disebabkan oleh myeloma, kanker prostat atau payudara, diikuti kanker tiroid, kanker paru, kanker kandung kencing, melanoma dan kanker ginjal. Namun ada sekitar 10% penyebaran ke tulang yang tidak diketahui asal kankernya.
Kanker penyebaran ini banyak mengenai tulang belakang dan tulang panjang. Kerusakan pada tulang belakang dapat menyebabkan nyeri dan penekanan pada saraf tulang belakang yang berakibat kelemahan bahkan kelumpuhan kedua kaki dan gangguan buang air kecil serta buang air besar. Sedangkan kerusakan pada tulang panjang dapat menyebabkan tulang patah spontan tanpa adanya trauma yang adekuat.
GEJALA KLINIS
Kanker primer tulang biasanya memberikan gejala berupa benjolan pada tulang disertai nyeri. Benjolan dapat tumbuh membesar dengan cepat dalam hitungan beberapa bulan saja dan disertai keterbatasan gerak sendi di dekatnya. Benjolan ini sering dijumpai di daerah sekitar sendi lutut dan bahu. Pada stadium lanjut pasien dapat datang dengan keluhan sesak nafas karena sudah ada penyebaran ke paru-paru. Di Indonesia, kebanyakan pasien telah mengetahui adanya benjolan beberapa bulan sebelum ke dokter, namun terlebih dahulu membawa ke terapi alternatif untuk pijat ataupun terapi herbal. Manipulasi pijat dapat menyebabkan pecahnya selaput pembungkus tumor sehingga merangsang percepatan pertumbuhan tumor dan penyebaran tumor. Hal ini diduga disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang kanker tulang, rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat untuk berobat ke dokter dan juga adanya keyakinan bahwa kanker tulang pasti diamputasi jika dibawa ke rumah sakit.
Gambar 3. Gambaran klinis benjolan pada tulang di sekitar lutut pasien usia 5 tahun.
(sumber koleksi database MST RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR)
Sedangkan untuk kanker tulang sekunder akibat transformasi ganas biasanya pasien datang dengan keluhan benjolan yang sudah lama ada sejak masa anak-anak, namun dalam beberapa bulan terakhir tumbuh membesar dengan cepat disertai nyeri. Pasien kanker tulang penyebaran sering mengeluhkan nyeri tulang bahkan patah tulang spontan sampai kelumpuhan kedua kaki. Pasien terkadang masih bisa berjalan namun menggunakan penyangga untuk lengan atas atau datang dengan menggunakan kursi roda atau tempat tidur jika tumor menyebar ke tulang belakang dan atau kaki. Nyeri tulang akibat penyebaran biasanya dikeluhkan di beberapa tempat sekaligus. Mayoritas pasien memiliki riwayat kanker sebelumnya baik yang sudah ditangani secara komplit, masih dalam penanganan ataupun belum tertangani secara medis.
PEMERIKSAAN PENDUKUNG
Dalam penegakan diagnosis kanker tulang perlu dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa pemeriksaan radiologis, laboratorium dan histopatologi (biopsi). Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan rontgen (x-ray) tulang yang nyeri dan ada benjolannya dan rontgen dada dua posisi, pemeriksaan MRI daerah benjolan, dan pemeriksaan CT scan dada. Pemeriksaan x-ray akan akan menunjukkan kerusakan tulang yang terjadi, pertumbuhan tulang baru, patah tulang dan penyebaran ke jaringan di sekitar tulang. Namun pemeriksaan ini harus dikonfirmasi dengan MRI untuk menggambarkan dimensi besar tumor, penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya termasuk pembuluh darah dan saraf terdekat serta sendi. Pemeriksaan rontgen dada dapat mendeteksi adanya penyebaran ke paru-paru, namun dibutuhkan CT scan dada untuk melihat nodul penyebaran ke paru-paru yang sangat kecil.
Gambar 4. Gambaran rontgen (x-ray) kanker ganas tulang pasien usai 15 dan 17 tahun
(sumber koleksi database MST RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR)
Pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap dan penanda tumor. Sebagian pasien datang dengan keluhan anemia (kurang darah) dan peningkatan sel darah putih. Penanda tumor dapat memberikan petunjuk jenis tumor yang diderita atau kanker penyebab, khususnya pada kasus tumor penyebaran yang belum diketahui sumbernya.
Gambar 3. Penanda tumor berdasarkan jenis asal kanker.
Pemeriksaan terakhir yang dilaksanakan adalah pemeriksaan histopatologi yaitu pemeriksaan mikroskopis jenis dan level keganasan tumor dari bahan jaringan yang diambil melalui tindakan biopsi. Biopsi dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup.
Gambar 6. Gambaran tindakan biopsi tulang pada kasus ka nker tulang primer
?
Data klinis, laboratoris, radiologis dan histopatologi yang didapat maka harus dibahas secara komprehensif melalui forum diskusi multidisiplin yang melibatkan beberapa dokter spesialis ahli tumor diantaranya spesialis onkologi ortopedi, radiologi, patologi anatomi. Hal ini dikarenakan insidensi kanker tulang yang jarang dengan varian cukup banyak akan menyulitkan menegakkan diagnosis pasti. Bahkan terkadang sering ditemukan ketidaksesuaian data antara klinis, radiologis dan histopatologi sehingga diskusi dapat memberikan solusi terbaik penegakan diagnosis dan penentuan pengobatan.
STADIUM
Stadium kanker tulang primer terdiri dari 3 tingkatan. Stadium I jika level keganasan tumor rendah. Stadium II jika level keganasan tumor tinggi. Keduanya dibuktikan dari pemeriksaan histopatologi. Stadium III atau stadium akhir jika pada pemeriksaan rontgen atau CT scan dada ditemukan penyebaran ke paru-paru. Diagnosis pasien pada stadium awal akan meningkatkan angka kesembuhan dan menurunkan angka kecacatan pasien. Jika pasien terdiagnosis stadium akhir pada awal diagnosis maka angka harapan hidup rendah dan kemungkinan amputasi lebih tinggi. Berbeda hal pada kanker sekunder (penyebaran tulang), dengan ditemukannya penyebaran ke tulang maka menjadi pertanda stadium lanjut bagi kanker sumbernya.
PENGOBATAN
Secara umum modalitas pengobatan kanker tulang ada 3 yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Pembedahan adalah terapi utama pada kanker tulang yaitu dengan cara mengangkat secara utuh seluruh tumor beserta selaput pembungkusnya dan sebagian jaringan sehat di sekitarnya. Jika tumor dapat diangkat secara utuh maka angka kesembuhan meningkat dan angka kekambuhan dan penyebaran akan menurun. Sebaliknya pengangkatan tumor yang tidak bersih akan meningkatkan angka kekambuhan dan penyebaran dan menurunkan angka kesembuhan. Pada kasus seperti ini perlu dilakukan radioterapi pasca operasi. Dahulu memang hampir semua kasus kanker tulang harus diamputasi untuk menyelamatkan hidup pasien, namun dengan berkembangkan teknologi untuk mendiagnosis kanker tulang dan teknik pembedahan maka saat ini amputasi sudah sangat jarang dilakukan, operasi pengangkatan tumor dapat dilakukan sekaligus menyelamatkan kaki atau tangan yang terkena.
Kemoterapi adalah pengobatan pendukung lainnya yaitu pemberian obat anti kanker melalui cairan infus yang masuk ke aliran darah. Kemoterapi berfungsi untuk membunuh sel kanker, namun dia tidak secara spesifik membunuh sel kanker saja, terkadang sel sehat juga ikut terdampak sehingga sering terjadi komplikasi atau efek samping kemoterapi yang tidak nyaman bagi pasien. Kemoterapi dapat diberikan sebelum operasi sebanyak 2-3 siklus dengan interval 21 hari bertujuan untuk mencegah penyebaran tumor dan merangsang kematian sel tumor sehingga diharapkan ukuran tumor dapat mengecil. Kemoterapi dilanjutkan pasca operasi sebanyak 4-6 siklus dengan interval yang sama.
Radioterapi sendiri adalah terapi sinar radiasi yang ditujukan pada daerah yang ada tumornya untuk mengontrol perkembangan tumor dan merusak sel tumor. Pemberiannya dapat sebelum operasi pada kasus tumor yang sangat besar dan tidak mungkin dioperasi atau pasca operasi pada kasus pengangkatan tumor yang tidak bersih.
PROGNOSIS
Dahulu sebelum ada obat kemoterapi yang baik, angka harapan hidup pasien kanker tulang hanya sekitar 30%. Artinya dari 100 orang yang didiagnosis kanker tulang, hanya 30 yang hidup dalam 5 tahun berikutnya. Namun dengan berkembangnya obat kemoterapi dan teknik pembedahan yang semakin maju, saat ini angka itu meningkat menjadi 80%. Dengan pengobatan yang komplit, dari 100 orang yang terkena kanker tulang, maka hanya 20 orang yang meninggal dalam 5 tahun berikutnya. Semakin cepat kanker tulang terdiagnosis maka semakin mudah pengobatannya dan semakin rendah angka kecacatan yang dihadapi serta semakin besar peluang hidupnya. Jangan pernah meremehkan kanker tulang karena angka kejadiannya yang rendah, tetapi ingat kanker tulang primer ini banyak mengenai anak dan remaja buah hati kita. Seperti tersambar geledek di siang bolong rasanya jika mendengarkan buah hati kesayangan terdiagnosis kanker tulang. Selain itu karena sering mengenai alat gerak maka kanker tulang sering menyebabkan gangguan aktivitas sehari-hari. Pasien kanker payudara atau prostat masih bisa beraktivitas normal, namun penderita osteosarkoma akan jalan pincang menggunakan tongkat karena nyeri atau bahkan harus duduk di kursi roda atau bahkan tergeletak di tempat tidur sampai proses kesembuhannya. Waspadai jika anda menemui benjolan pada tulang, terutama di sekitar sendi lutut pada kelompok usia anak atau remaja, karena bisa jadi itu adalah kanker tulang. Bawalah berobat ke rumah sakit untuk dapat pemeriksaan lanjutan dan jangan bawa ke pengobatan alternatif karena itu akan menunda waktu diagnosis dan pengobatan. Semakin lama terdiagnosis maka kemungkinan menjadi stadium lanjut semakin besar dan angka harapan hidup semakin kecil.
Penulis :
dr. M. Hardian Basuki, Sp,OT(K)
Staff Divisi Musculoskeletal Tumor
Departemen Orthopaedi dan Traumatologi FK UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jun 20, 2021
See More
AVASCULAR NECROSIS IN PALM WINE DRINKER
Avascular necrosis (AVN) is a long-known complication of the thigh bone neck bone fracture, caused by a disruption of the blood supplying nutrients to the bone leading to death of bone tissue. It is also commonly known as osteonecrosis, where it can lead to tiny breaks in the bone and the bone's eventual collapse. Anyone can be affected by this disease, but the condition is most common in adults between 30 to 50 years of age and in certain individuals. While the exact cause of AVN is unknown, in general it could be divided into two groups; after a history of accident (traumatic) and spontaneous (non-traumatic) AVN. In the spontaneous group, the mechanism of this disease is much more complex as it involves various processes from a disruption of blood flow, blood clotting, blood vessels swelling and compression. There are many suggested reasons as to why AVN might occur, but alcohol abuse and high dose of anti-inflammation medication are the most common suggested cause of non-traumatic AVN.
In a tropical country such as Indonesia, a well-known traditional alcoholic drink called ‘tuak’ or palm wine (made from coconut tree or palm sugar) is considered as a local delicacy to the people of North Sumatera. The traditional drink mostly consists of water, carbohydrate, fat, protein, some minerals, and alcohol which comes from fermentation of its carbohydrate content. While not only known for its high alcohol content, it could also contain an added anti-inflammatory substance known as corticosteroid. Some studies and literatures suggest that the inhibition of bone cell factory (bone marrow stem cell) to a cell producing bone called osteoblast in frequent alcohol and corticosteroid user was the reason of AVN in adults. Although the exact dose of alcohol and corticosteroid causing AVN is still unknown but it’s suggested that the alcoholic and corticosteroid level in the blood played a more important role, especially in Indonesia where drinking ‘tuak’ is considered as part of a traditional habit.
The earliest stage of AVN is bone death and it usually causes no symptoms, but by the time the patient feels any symptoms, the disease usually already advances to a more prominent AVN. Pain around the hip is a common complaint amongst patient and is usually the first symptom felt. It is felt in or near the hip joint where it could radiate to the knee, and perhaps the pain is felt only with certain types of movement or during weight bearing. Some patients may complain of a clicking sound in the joint due to a loose joint fragment interfering with the motion of the joint. In the later stages of AVN the hip joint becomes stiffer, more deformed, swelling and pain may be persistent even when lying down. If untreated, AVN will worsens over time and eventually causes the bone to lose its smooth shape and potentially leading to severe arthritis of the hip joint. Plain radiograph (X-RAY) of the hip is usually enough to diagnose AVN in most people, but some cases may need a more advance imaging such as MRI or CT-SCAN. An x-ray may show a destroyed bone (Figure 1).
In the early stages of the disease, symptoms might be relieved with rest (reduce weigh bearing on affected joint thus slowing the disease progression), exercise therapy to improve joint range of motion and medication such as anti-inflammatory or osteoporosis drugs. But if the bone has collapsed or conservative treatment aren’t helping where usually in the latter stages, a surgery to replace the damaged parts of your joint with plastic or metal parts called hip replacement is usually recommended by most orthopaedic surgeons (Figure 2). Therefore, it is important to recognize the signs of AVN, reduce the risk factors such as alcohol and anti-inflammatory drugs, and get help from professionals when in doubt.
Author: dr. Irfan Ritonga
Date: 9 May 2021
Figure 1: AVN of the left hip joint
48-year-old male with months of hip pain and years of ‘tuak’ consumption history.
Photographer: dr. Irfan Ritonga
Location: RSUP. H. Adam Malik, Medan, Indonesia
Figure 2: Hip replacement after AVN
Hip replacement is a replacing the destroyed bone with metal parts to restore its shape, as shown in this patient.
Photographer: dr. Irfan Ritonga
Location: RSUP. H. Adam Malik, Medan, Indonesia
References:
Jun 09, 2021
See More
KANKER TIROID PADA TULANG
Kanker merupakan suatu kata yang mengerikan saat didengar oleh masyarakat awam bahkan juga oleh kalangan medis, namun tahukah anda ada begitu banyak jenis kanker, dengan masing-masing jenis kanker menimbulkan gejala yang berbeda-beda, sehingga penting untuk dapat mengetahui jenis kanker yang dialami sedini mungkin. Salah satu jenis kanker yang cukup sering kita temukan adalah kanker tiroid. Kanker tiroid adalah keganasan pada kelenjar didaerah leher yang kasusnya telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Penyebaran kanker tiroid juga dapat terjadi pada tulang, yang dinamakan sebagai Metastatic Bone Disease (MBD). MBD terjadi pada sekitar 4% dari semua pasien kanker tiroid. MBD menurut studi berhubungan dengan penurunan kualitas hidup yang signifikan, dan kemungkinan komplikasi yang lebih berat (Wu et al., 2008). Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan 5,3 % dari angka kejadian kanker adalah MBD. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di Indonesia menyatakan kanker adalah penyebab kematian ke-7 di antara semua penyebab kematian (5,7%) (Macedo et al., 2017).
Metastasis kanker pada tulang selain mempengaruhi kualitas hidup dalam bidang kesehatan, juga menimbulkan beban secara ekonomi bagi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya keluhan dan gangguan aktivitas sehari-hari pada pasien dengan penyebaran kanker tiroid pada tulang (Prabowo et al., 2020). Ten Years Survival Rate secara keseluruhan dalam MBD kanker tiroid adalah sekitar 40%, namun sebagian pasien mengalami perburukan 4 tahun setelah didiagnosis sebagai MBD kanker tiroid akibat mengalami berbagai macam komplikasi (Iñiguez-Ariza et al., 2020). Tanda-tanda yang patut dicurigai sebagai adanya suatu keganasan pada kelenjar tiroid adalah (Wu et al., 2008):
Sedangkan gejala yang patut dicurigai sebagai adanya suatu penyebaran kanker tiroid pada tulang adalah:
Menurut beberapa studi, Ekspresi Tiroglobulin pada serum yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya penyebaran kanker tiroid pada tulang, karena peran tiroglobulin yang dapat menekan daya tembus pembuluh darah (Gökta?, 2018; Luo et al., 2014). Selain itu zat RANKL juga disebut sebagai salah satu faktor risiko karena RANKL yang meningkatkan proses penyerapan tulang, sehingga kerusakan akibat penyebaran kanker akan lebih berat. RANKL juga menyediakan lingkungan yang tepat untuk pertumbuhan dari sel kanker pada tulang (Baloch and Livolsi, 2000; Dinarello, 2010; Luo et al., 2014). Oleh karena itu, pemeriksaan kadar Tiroglobulin dan RANKL dapat dijadikan sebagai alat skrining untuk mendeteksi kemungkinan komplikasi dari kanker tiroid secara dini, sehingga komplikasi yang lebih berat dapat dicegah.
Dewasa kini penanganan pada kasus MBD dilakukan secara multidisiplin dan multimodal, seperti diawali dengan penentuan apakah benar kasus yang terjadi adalah kanker tiroid dengan menggunakan pemeriksaan penunjang yang tepat, kemudian pengobatan manajemen nyeri, pengobatan menggunakan metode Iodine Radioaktif (RAI) dan pembedahan, hingga regimen radioterapi dan kemoterapi (Iñiguez-Ariza et al., 2020). Pemilihan regimen terapi juga sangat penting guna untuk mengobati kanker tiroid dan mencegah kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi, seperti penyebaran sel kanker ke organ-organ tubuh yang lain. Sehingga manajemen kanker tiroid dilakukan dengan konsultasi dengan dokter yang ahli dalam bidang yang bersangkutan, sehingga sangat penting untuk bertemu dengan dokter ahli apabila anda mengalami gejala seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Penulis: dr. Gede Ketut Alit Satria Nugraha, 30 April 2021
Jun 07, 2021
See More
Pendekatan Operasi Pada Patah Tulang Sik...
Fraktur suprakondiler humerus merupakan cedera siku paling sering terjadi pada anak dengan angka kejadian sebesar 60-70%. Kejadian tersebut sering terjadi ketika anak sedang bermain di taman bermain sebanyak 25-40% dari seluruh kasus. Pilihan terapi pada fraktur suprakondiler dapat dengan operasi atau tidak operasi. Pada kasus dengan bentuk patah tidak terlalu parah atau memiliki displacement minimal maka tindakan non-operatif merupakan pilihan terapi utama.
Pada penentuan tipe patah tulang suprakondiler dapat menggunakan klasifikasi Gartland. Klasifikasi Gartland menilai berdasarkan pergeseran dari fragment patahan. Tipe klasifikasi Gartland berpengaruh pada tatalaksana operasi dari fraktur surpacondyler. Terdapat dua tehnik yang dapat dilakukan, yaitu teknik reposisi tertutup dan teknik reposisi terbuka. Teknik reposisi tertutup dan penggunaan percutaneous pinning merupakan pilihan utama pada klasifikasi Gartland tipe 1 dan 2, sedangkan tkenik reposisi terbuka dilakukan apabila tehnik reposisi tertutup gagal atau kasus termasuk pada klasifikasi Gartland tipe 2, 3 dan 4.
Hingga saat ini terdapat beberapa pendekatan pada operasi fraktur suprakondiler humerus antara lain pendekatan dari anterior, lateral, medial atau posterior. Pendekatan yang paling sering digunakan adalah pendekatan posterior dan lateral karena termasuk pendekatan yang mudah ketika operasi. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, namun hingga saat ini belum ada literatur yang memberikan acuan pasti terkait pendekatan operatif terbaik pada penanganan kasus suprakondiler humerus pada anak yang memerlukan tindakan operasi. Pada evaluasi pasca operasi dapat dilakukan dengan menilai secara kosmetik dan fungsional berdasarkan sistem skoring dengan kriteria Flynn. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menentukan pendekatan yang terbaik pada operasi fraktur suprakondiler yang dievaluasi secara kosmetik dan fungsional berdasarkan kriteria Flynn.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tinjauan sistematik dan meta-analysis yang mencakup studi komparatif langsung antar dua kelompok yaitu pendekatan operasi lateral dan pendekatan operasi posterior berdasarkan kriteria Flynn. Penelitian ini diawali dengan mencari studi secara elektronik dengan menggunakan empat pusat data studi. Sebanyak 163 studi yang memiliki alogaritma kata kunci yang sesuai tapi pada akhirnya terdapat 5 studi yang sesuai dan dapat dilakukan analisis.
Pada penelitian ini pendekatan operasi lateral dan posterior memiliki hasil yang memuaskan lebih dari 90% dari kasus pada studi yang dianalisis. Studi ini sesuai yang membandingkan perbedaan hasil evaluasi dari operasi siku menggunakan pendekatan medial, lateral dan posterior dimana secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, namun pada studi ini didapatkan bahwa pendekatan operasi dari posterior memberikan komplikasi berupa penurunan kekuatan dari otot triceps, oleh karena itu lebih disarankan menggunakan pendekatan dari medial atau lateral.
Penelitian ini didapatkan pendekatan lateral memberikan hasil yang lebih baik dari pendekatan posterior berdasarkan kriteria Flynn pada subkelompok excellent pada penilaian fungsional dan kosmetik, selain itu lebih baik pada subkelompok good dalam penilain fungsional, namun secara statistik perbedaan ini tidak terlalu bermakna. Pendekatan lateral merupakan pendekatan operasi yang paling sedikit bersinggungan dengan struktur penting pada siku dibandingkan pendekatan lain dan juga pendekatan ini memiliki luka yang tidak menganggu ruang gerak sendi siku.
Penelitian ini juga didapatkan pendekatan lateral memiliki hasil yang inferior dari pendekatan posterior posterior pada penilaian menggunakan kriteria Flynn dalam subkelompok poor pada penilaian fungsional dan kosmetik. Suatu pendekatan operasi ada penilaian subkelompok poor dapat disimpulkan semakin inferior maka pedekatan lateral ini lebih baik dari pendekatan posterior, namun secara statistik perbedaan ini tidak terlalu bermakna. Pada pendekatan posterior didapatkan perusakan cukup banyak pada otot triceps yang dapat membuat penurunan dari kemampuan otot tersebut pascaoperasi sampai 6% dari kekuatan otot sebelum dilakukan operasi.
Kesimpulan pada penelitian ini adalah pendekatan operasi lateral pada pasien Suprakondiler humerus pada anak – anak memberikan hasil fungsional dan kosmetik menurut kriteria Flynn dalam kategori memuaskan, Pendekatan operasi posterior pada pasien Suprakondiler humerus pada anak-anak memberikan hasil fungsional dan kosmetik menurut kriteria Flynn dalam kategori memuaskan, namun tidak terdapat perbedaan dari hasil operasi menggunakan pendekatan operasi lateral dibandingkan dengan hasil operasi menggunakan pendekatan operasi posterior pada pasien Suprakondiler humerus pada anak – anak menurut kriteria Flynn.
Penulis:
dr. I Putu Gede Pradnyadewa Pradana
Dr. dr. Komang Agung Irianto, dr., Sp.OT(K)
Departement Orthopaedi dan Traumatologi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya – FK Universitas Airlangga
Jun 06, 2021
See More
PERKEMBANGAN CARA BERJALAN ANAK
PERKEMBANGAN CARA BERJALAN ANAK
Perkembangan mengacu pada perubahan fisik dan pematangan yang terjadi seiring bertambahnya usia anak. Proses perkembangan mencakup banyak aspek antara lain perubahan bentuk tubuh, tetapi yang paling utama adalah perubahan fungsi yang mengubah manusia menjadi mahluk yang semakin kompleks. Salah satu fungsi paling penting dan yang sering dinilai pada anak adalah cara berjalan. 1
Pada dasarnya tidak terdapat usia pasti kapan anak perlu mulai belajar jalan. Kemampuan anak untuk berjalan ditentukan berdasarkan sebuah konsep yang dikenal sebagai ‘motoric development milestone’. Setiap tahap perkembangan milestone dicapai berdasarkan pertumbuhan otak dari setiap anak dan usia anak untuk mencapai tiap tahapan dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Perkiraan usia di mana anak-anak biasanya mencapai berbagai keterampilan motorik kasar adalah sebagai berikut:2
Pada usia 7 – 9 bulan sudah mulai dapat merangkak
Pada usia 12 bulan sudah mulai dapat berjalan dengan bantuan
Pada usia 12 – 16 bulan sudah mulai dapat berjalan tanpa bantuan
Pada usia 18 bulan sudah mulai dapat berlari dan juga dapat menaiki tangga dengan bantuan
Pada usia 2 tahun sudah mulai dapat menaiki tangga tanpa bantuan
Pada usia 3 tahun sudah mulai dapat menuruni tangga dengan bantuan dan pada tahun ke 4 dapat menuruni tangga tanpa bantuan
Perkembangan cara berjalan dimulai setelah anak melalui batu lompatan perkembangan yang sebelumnya sudah dijelaskan. Saat otot, tulang, dan sendi anak sudah cukup kuat maka secara alami anak akan berusaha untuk berjalan mandiri tanpa tumpuan dan bantuan. Anak- anak biasanya memiliki ciri khas saat berjalan yaitu jarak antar kaki yang lebar (mengangkang), lutut, panggul dan tangan yang sedikit tertekuk serta gerakan yang sering timbul secara tiba-tiba.2
Seiring perkembangan dan pematangan sistem saraf dan otot pada anak, ciri- ciri yang biasa dijumpai pada anak akan menghilang perlahan- lahan, gerakan menjadi lebih halus, langkah menjadi lebih panjang dan kecepatannya juga akan semakin bertambah. Pada usia 3 sampai 5 tahun, anak akan mencapai gerakan berjalan yang sama dengan manusia dewasa.2
Fungsi dari Gait atau cara berjalan adalah untuk menghantarkan seseorang dari satu titik ke titik lainnya. Energi yang dibutuhkan untuk berjalan dapat dihitung berdasarkan oksigen yang diambil dan terpakai, pada anak- anak dibawah usia 12 tahun energi yang dibutuhkan lebih banyak daripada remaja. System syaraf berperan penting pada cara berjalan anak karena cara berjalan anak berubah sepanjang proses pematangan system syaraf. Bayi biasanya berjalan dengan lutut dan lengan yang tertekuk dan lebih mengangkang daripada anak- anak yang berusia lebih tua. Jika terdapat gangguan pada system syaraf contohnya cerebral palsy maka cara berjalan yang normal juga akan terganggu.1
Cara berjalan terdiri dari dua fase yaitu, fase Stance dan Swing. Stance phase adalah waktu diantara kaki kontak dengan tanah dan menyokong berat tubuh. Kebalikannya adalah swing phase yang berarti kaki atau anggota tubuh terangkat dari tanah dan maju ke depan. Stance phase mengambil hamper 60% dari siklus berjalan sedangkan Swing phase hanya 40% dari seluruh siklus berjalan. Kedua fase ini dapat dibagi lebih lanjut :1
Fase ini dimulai saat kaki menginjak tanah, sering juga disebut heel strike atau initial contact. Selanjutnya, respon terhadap gaya tersebut muncul sebagai plantar fleksi pada kaki. pada saat midstance tulang tibia maju kedepan dan akhirnya tumit terangkat pada saat- saat terakhir dari fase ini. Pada fase ini dapat dibagi menjadi fase Single limb support dan double limb support.
2. Swing phase
Fase ini terdiri dari tiga subfase yang berbeda yaitu, initial swing, midswing, dan terminal swing. Initial swing dimulai saat jari- jari kaki terangkat dan selanjutnya kaki terangkat dari tanah sehingga anggota tubuh maju kedepan. Midswing dimulai saat kaki yang berayun melewati kaki sebelahnya yang bertumpu, lutut ekstensi atau menjulur dan kaki bergera maju sesuai arah Swing arc.Terminal swing muncul di akhir fase ini sebagai gerakan otot yang menghentikan gerakan mengayun dari kaki yang berayun kedepan, dan mempersiapkan kontak awal dengan tanah, akhirnya satu siklus berjalan sudah lengkap.
Sumber : Tachdjian’s Pediatric Orthopaedics Sixth Edition. Gait Analysis.
Waktu yang dibutuhkan pada setiap fase berjalan ini sama pada setiap individu normal. Pada saat kecepatan berjalan seseorang meningkat, waktu yang dialokasikan untuk subfase Double limb support berkurang. Saat berlari, subfase Double limb support tidak ada atau hilang dan digantikan dengan double limb float, ini adalah periode disaat kedua kaki tidak ada yang menginjakkan tanah.1
Pemeriksaan cara berjalan dapat didasarkan pada 3 cara yang berbeda:2
Evaluasi cara berjalan merupakan bagian dari standar pemeriksaan skrining dan biasanya dilakukan di area terbuka yaitu ruang praktek dokter.Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
2. Pemeriksaan observasi klinis
Algoritma pemeriksaan cara berjalan anak
Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
Di ruang praktek dokter, sang anak diobservasi cara berjalannya dari depan,belakang dan kedua sisi jika memungkinkan. Perhatikan juga sepatu anak untuk melihat adanya pemakaian sepatu yang abnormal. Menipisnya sepatu pada bagian tumit (tanda panah merah) adalah bukti adanya equinus gait pada kaki kiri anak tersebut. Menipidnya sepatu pada bagian jari kaki mengindikasikan adanya derajat equinus yang lebih parah (tanda panah kuning) pada anak dengan spastik diplegia.
Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
3. Analisa cara berjalan dengan instrumentasi
Cara berjalan dapat diperiksa menggunakan kamera video untuk merekam dan mengobservasi secara visual. Cara yang lebih canggih dapat juga digunakan, termasuk dinamik elektromiografi, selanjutnya nilai yang didapat akan dibandingkan dengan nilai yang normal.
Sumber : Tachdjian’s Pediatric Orthopaedics Sixth Edition. Gait Analysis.
Terdapat berbagai kelainan kongenital pada tungkai bawah yang dapat mempengaruhi perkembangan pola berjalan dan pada akhirnya mengakibatkan kelainan atau abnormalitas pada siklus gait seorang anak. Beberapa kelainan kongenital tersebut antara lain:3
Fibular hemimelia à kelainan kongenital yang ditandai adanya kegagalan pembentukan sebagian atau seluruh tulang fibula yang mengakibatkan terjadinya subluksasi talokalkaneal ke sisi lateral. Secara anatomis, kasus agenesis fibula ini dapat diklasifikasikan menjadi:
Klasifikasi Avhterman-Kalamchi |
|
Tipe IA |
Epifisis proksimal fibula distal terhadap lempeng pertumbuhan dan berukuran lebih kecil, lempeng pertumbuhan distal terletak lebih proksimal |
Tipe IB |
>50% fibula proksimal tidak terbentuk, distal fibula terbentuk namun tidak dapat memopong sendi pergelangan kaki |
Tipe II |
Fibula tidak terbentuk sama sekali |
Secara fungsional, kelainan ini dapat diklasifikasi sesuai klasifikasi Birch:
Klasifikasi Birch |
|
Tipe I |
Kelainan pembentukan fibula dengan pergelangan kaki yang stabil namun mengakibatkan kelainan panjang tungkai kanan dan kiri |
IA |
Pemendekan 0% - < 6% |
IB |
Pemendekan 6% - 10% |
IC |
Pemendekan 11 – 30% |
ID |
Pemendekan >30% |
Tipe II |
Kelainan pembentukan fibula dengan pergelangan kaki yang tidak stabil |
IIA |
Ekstremitas atas normal |
IIB |
Terdapat kelainan fungsional ekstremitas atas |
Gambar X. Fibular hemimelia Tipe II
Gambar X. Gambaran radiologis dan klinis hemimelia fibula
Proximal focal femoral deficiency (PFFD) à Pembentukan abnormal proksimal femur dan asetabulum yang mengakibatkan adanya gangguan stabilitas dan mobilitas sendi panggul dan sendi lutut, serta mengakibatkan malorientasi, malrotasi, kelainan panjang tungkai, dan kontraktur jaringan lunak pada panggul dan lutut. PFFD dapat diklasifikasi menurut osifikasi tulang femur dan range of motion sendi panggul dan lutut.
Klasifikasi Paley |
|
Tipe I |
Tulang femur intak, pergerakan sendi panggul dan lutut normal Osifikasi femur proksimal normal Osifikasi femur proksimal terlambat |
Tipe II |
Pseudoartrosis mobil dengan sendi lutut normal Kaput femur dapat bergerak dalam asetabulum Kaput femur tidak terbentuk atau kaku di asetabulum |
Tipe III |
Defisiensi diafisis femur Pergerakan lutut > 45o Pergerakan lutut < 45o Femur tidak terbentuk |
Tipe IV |
Defisiensi distal femur |
Pseudoartrosis kongenital tibia à Kelainan diafisis tibia yang mengakibatkan peningkatan terjadinya fraktur patologis dan pembentukan kista dalam kavitas medular tulang. Ditandari dengan terjadinya tulan tibia yang melengkung secara anterolateral sejak awal kehidupan dan disertai adanya pseudoartrosis primer atau sekunder. Klasifikasi Anderson membagi pesudoartrosis tibia berdasarkan kondisi morfologi tulan; displastik, kistik, late, dan clubfoot. Klasifikasi El-Rosasy-Paley membagi pseudoartrosis berdasarkan beberapa parameter.
Klasifikasi El-Rosasy-Paley |
|||
|
Ujung tulang berdasarkan X-ray |
Pergerakan pseudoartrosis |
Riwayat operasi |
Tipe I |
Atrofik |
Mobil |
Tidak |
Tipe II |
Atrofik |
Mobil |
Operasi gagal |
Tipe III |
Hipertrofik |
Kaku |
Ya / tidak |
Gambar X. Pseudoartrosis tibia
Pola jalan (gait) abnormal
Gait patologis dapat disebabkan berbagai penyebab namun pada dasarnya akan mempengaruhi setidaknya salah satu dari empat kategori fungsional, antara lain:4
Deformitas fungsional terjadi apabila terjadi gangguan jaringan lunak yang mengakibatkan hambatan mobilitas (pergerakan) pasif sendi sehingga kemampuan anak untuk mempertahankan postur dan range of motion normal terganggu, terutama saat berjalan. Gangguan deformitas fungsional paling sering disebabkan karena adanya kontraktur, permukaan sendi yang abnormal, dan ankilosis. Pada pergelangan kaki, kontraktur fleksi plantar mengganggu pergerakan jalan terutama pada stance phase dan swing phase. Kontraktur pada sendi lutut menghambat pergerakan saat swing phase saat mobilitas paha dan juga meningkatkan energi yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas lutut. Kontraktur pada sendi panggul mengakibatkan peningkatan gaya yang terjadi pada punggung dan ekstensor panggul.
Kelainan yang mengakibatkan otot melemah seperti poliomyelitis, Guillain-Barre syndrome, distrofi otot, dan atrofi otot. Meskipun mengganggu pergerakan pada awalnya, anak biasanya akan menemukan cara atau mengendalikan otot lain untuk membantu dalam menjaga stabilitas dan pergerakan. Apabila kelainan ini disertai gangguan pengendalian otot atau kontraktur pada otot cadangan, maka dapat mengakibatkan otot tersebut overuse atau terlalu dipaksakan sehingga cepat kelelahan.
Disebaban karena adanya penurunan propriosepsi sehingga anak tersebut tidak mengetahui posisi tungkainya dengan pasti saat bergerak, sehingga menghambat kemampuan tubuh untuk melakukan pergerakan-pergerakan mikro dalam menjaga stabilitas.
Nyeri yang berasal dari sendi dapat mempengaruhi pola jalan anak karena anak akan cenderung untuk menghindari posisi atau pergerakan yang menimbulkan nyeri tersebut. Nyeri yang disebabkan karena deformitas atau peningkatan tekanan sendi menyebabkan anak untuk tidak dapat mempertahankan postur normal saat berdiri tegak atau berjalan.
Masing – masing kondisi ini dapat menyebabkan bermacam- macam pola berjalan yang salah atau lebih dikenal dengan “pincang”.5
Beberapa pola berjalan yang salah antara lain :5
3. Spastic Gait seperti yang sering dijumpai pada pasien Cerebral Palsy, hal ini dikarenakan adanya ketidakseimbangan aktivitas antar otot dan juga otot biasanya lebih tegang.
4. Proximal Muscle Weakness Gait sering dijumpai pada anak- anak dengan gangguan Muscular Dystrophy. Saat mencoba berdiri, anak menggunakan tangan dan lengannya untuk menopang dan berdiri.
5. Short Limb Gait seringklai ditemu pada anak dengan panjang kaki yang berbeda. Untuk mengimbangi kaki yang lebih panjang, anak akan berjalan dengan menggunakan jari- jari kaki pada kaki yang lebih pendek.
Jun 02, 2021
See More