KANKER TIROID PADA TULANG
Kanker merupakan suatu kata yang mengerikan saat didengar oleh masyarakat awam bahkan juga oleh kalangan medis, namun tahukah anda ada begitu banyak jenis kanker, dengan masing-masing jenis kanker menimbulkan gejala yang berbeda-beda, sehingga penting untuk dapat mengetahui jenis kanker yang dialami sedini mungkin. Salah satu jenis kanker yang cukup sering kita temukan adalah kanker tiroid. Kanker tiroid adalah keganasan pada kelenjar didaerah leher yang kasusnya telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Penyebaran kanker tiroid juga dapat terjadi pada tulang, yang dinamakan sebagai Metastatic Bone Disease (MBD). MBD terjadi pada sekitar 4% dari semua pasien kanker tiroid. MBD menurut studi berhubungan dengan penurunan kualitas hidup yang signifikan, dan kemungkinan komplikasi yang lebih berat (Wu et al., 2008). Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan 5,3 % dari angka kejadian kanker adalah MBD. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di Indonesia menyatakan kanker adalah penyebab kematian ke-7 di antara semua penyebab kematian (5,7%) (Macedo et al., 2017).
Metastasis kanker pada tulang selain mempengaruhi kualitas hidup dalam bidang kesehatan, juga menimbulkan beban secara ekonomi bagi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya keluhan dan gangguan aktivitas sehari-hari pada pasien dengan penyebaran kanker tiroid pada tulang (Prabowo et al., 2020). Ten Years Survival Rate secara keseluruhan dalam MBD kanker tiroid adalah sekitar 40%, namun sebagian pasien mengalami perburukan 4 tahun setelah didiagnosis sebagai MBD kanker tiroid akibat mengalami berbagai macam komplikasi (Iñiguez-Ariza et al., 2020). Tanda-tanda yang patut dicurigai sebagai adanya suatu keganasan pada kelenjar tiroid adalah (Wu et al., 2008):
Sedangkan gejala yang patut dicurigai sebagai adanya suatu penyebaran kanker tiroid pada tulang adalah:
Menurut beberapa studi, Ekspresi Tiroglobulin pada serum yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya penyebaran kanker tiroid pada tulang, karena peran tiroglobulin yang dapat menekan daya tembus pembuluh darah (Gökta?, 2018; Luo et al., 2014). Selain itu zat RANKL juga disebut sebagai salah satu faktor risiko karena RANKL yang meningkatkan proses penyerapan tulang, sehingga kerusakan akibat penyebaran kanker akan lebih berat. RANKL juga menyediakan lingkungan yang tepat untuk pertumbuhan dari sel kanker pada tulang (Baloch and Livolsi, 2000; Dinarello, 2010; Luo et al., 2014). Oleh karena itu, pemeriksaan kadar Tiroglobulin dan RANKL dapat dijadikan sebagai alat skrining untuk mendeteksi kemungkinan komplikasi dari kanker tiroid secara dini, sehingga komplikasi yang lebih berat dapat dicegah.
Dewasa kini penanganan pada kasus MBD dilakukan secara multidisiplin dan multimodal, seperti diawali dengan penentuan apakah benar kasus yang terjadi adalah kanker tiroid dengan menggunakan pemeriksaan penunjang yang tepat, kemudian pengobatan manajemen nyeri, pengobatan menggunakan metode Iodine Radioaktif (RAI) dan pembedahan, hingga regimen radioterapi dan kemoterapi (Iñiguez-Ariza et al., 2020). Pemilihan regimen terapi juga sangat penting guna untuk mengobati kanker tiroid dan mencegah kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi, seperti penyebaran sel kanker ke organ-organ tubuh yang lain. Sehingga manajemen kanker tiroid dilakukan dengan konsultasi dengan dokter yang ahli dalam bidang yang bersangkutan, sehingga sangat penting untuk bertemu dengan dokter ahli apabila anda mengalami gejala seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Penulis: dr. Gede Ketut Alit Satria Nugraha, 30 April 2021
Jun 07, 2021
See More
Pendekatan Operasi Pada Patah Tulang Sik...
Fraktur suprakondiler humerus merupakan cedera siku paling sering terjadi pada anak dengan angka kejadian sebesar 60-70%. Kejadian tersebut sering terjadi ketika anak sedang bermain di taman bermain sebanyak 25-40% dari seluruh kasus. Pilihan terapi pada fraktur suprakondiler dapat dengan operasi atau tidak operasi. Pada kasus dengan bentuk patah tidak terlalu parah atau memiliki displacement minimal maka tindakan non-operatif merupakan pilihan terapi utama.
Pada penentuan tipe patah tulang suprakondiler dapat menggunakan klasifikasi Gartland. Klasifikasi Gartland menilai berdasarkan pergeseran dari fragment patahan. Tipe klasifikasi Gartland berpengaruh pada tatalaksana operasi dari fraktur surpacondyler. Terdapat dua tehnik yang dapat dilakukan, yaitu teknik reposisi tertutup dan teknik reposisi terbuka. Teknik reposisi tertutup dan penggunaan percutaneous pinning merupakan pilihan utama pada klasifikasi Gartland tipe 1 dan 2, sedangkan tkenik reposisi terbuka dilakukan apabila tehnik reposisi tertutup gagal atau kasus termasuk pada klasifikasi Gartland tipe 2, 3 dan 4.
Hingga saat ini terdapat beberapa pendekatan pada operasi fraktur suprakondiler humerus antara lain pendekatan dari anterior, lateral, medial atau posterior. Pendekatan yang paling sering digunakan adalah pendekatan posterior dan lateral karena termasuk pendekatan yang mudah ketika operasi. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, namun hingga saat ini belum ada literatur yang memberikan acuan pasti terkait pendekatan operatif terbaik pada penanganan kasus suprakondiler humerus pada anak yang memerlukan tindakan operasi. Pada evaluasi pasca operasi dapat dilakukan dengan menilai secara kosmetik dan fungsional berdasarkan sistem skoring dengan kriteria Flynn. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menentukan pendekatan yang terbaik pada operasi fraktur suprakondiler yang dievaluasi secara kosmetik dan fungsional berdasarkan kriteria Flynn.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tinjauan sistematik dan meta-analysis yang mencakup studi komparatif langsung antar dua kelompok yaitu pendekatan operasi lateral dan pendekatan operasi posterior berdasarkan kriteria Flynn. Penelitian ini diawali dengan mencari studi secara elektronik dengan menggunakan empat pusat data studi. Sebanyak 163 studi yang memiliki alogaritma kata kunci yang sesuai tapi pada akhirnya terdapat 5 studi yang sesuai dan dapat dilakukan analisis.
Pada penelitian ini pendekatan operasi lateral dan posterior memiliki hasil yang memuaskan lebih dari 90% dari kasus pada studi yang dianalisis. Studi ini sesuai yang membandingkan perbedaan hasil evaluasi dari operasi siku menggunakan pendekatan medial, lateral dan posterior dimana secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, namun pada studi ini didapatkan bahwa pendekatan operasi dari posterior memberikan komplikasi berupa penurunan kekuatan dari otot triceps, oleh karena itu lebih disarankan menggunakan pendekatan dari medial atau lateral.
Penelitian ini didapatkan pendekatan lateral memberikan hasil yang lebih baik dari pendekatan posterior berdasarkan kriteria Flynn pada subkelompok excellent pada penilaian fungsional dan kosmetik, selain itu lebih baik pada subkelompok good dalam penilain fungsional, namun secara statistik perbedaan ini tidak terlalu bermakna. Pendekatan lateral merupakan pendekatan operasi yang paling sedikit bersinggungan dengan struktur penting pada siku dibandingkan pendekatan lain dan juga pendekatan ini memiliki luka yang tidak menganggu ruang gerak sendi siku.
Penelitian ini juga didapatkan pendekatan lateral memiliki hasil yang inferior dari pendekatan posterior posterior pada penilaian menggunakan kriteria Flynn dalam subkelompok poor pada penilaian fungsional dan kosmetik. Suatu pendekatan operasi ada penilaian subkelompok poor dapat disimpulkan semakin inferior maka pedekatan lateral ini lebih baik dari pendekatan posterior, namun secara statistik perbedaan ini tidak terlalu bermakna. Pada pendekatan posterior didapatkan perusakan cukup banyak pada otot triceps yang dapat membuat penurunan dari kemampuan otot tersebut pascaoperasi sampai 6% dari kekuatan otot sebelum dilakukan operasi.
Kesimpulan pada penelitian ini adalah pendekatan operasi lateral pada pasien Suprakondiler humerus pada anak – anak memberikan hasil fungsional dan kosmetik menurut kriteria Flynn dalam kategori memuaskan, Pendekatan operasi posterior pada pasien Suprakondiler humerus pada anak-anak memberikan hasil fungsional dan kosmetik menurut kriteria Flynn dalam kategori memuaskan, namun tidak terdapat perbedaan dari hasil operasi menggunakan pendekatan operasi lateral dibandingkan dengan hasil operasi menggunakan pendekatan operasi posterior pada pasien Suprakondiler humerus pada anak – anak menurut kriteria Flynn.
Penulis:
dr. I Putu Gede Pradnyadewa Pradana
Dr. dr. Komang Agung Irianto, dr., Sp.OT(K)
Departement Orthopaedi dan Traumatologi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya – FK Universitas Airlangga
Jun 06, 2021
See More
PERKEMBANGAN CARA BERJALAN ANAK
PERKEMBANGAN CARA BERJALAN ANAK
Perkembangan mengacu pada perubahan fisik dan pematangan yang terjadi seiring bertambahnya usia anak. Proses perkembangan mencakup banyak aspek antara lain perubahan bentuk tubuh, tetapi yang paling utama adalah perubahan fungsi yang mengubah manusia menjadi mahluk yang semakin kompleks. Salah satu fungsi paling penting dan yang sering dinilai pada anak adalah cara berjalan. 1
Pada dasarnya tidak terdapat usia pasti kapan anak perlu mulai belajar jalan. Kemampuan anak untuk berjalan ditentukan berdasarkan sebuah konsep yang dikenal sebagai ‘motoric development milestone’. Setiap tahap perkembangan milestone dicapai berdasarkan pertumbuhan otak dari setiap anak dan usia anak untuk mencapai tiap tahapan dapat berbeda satu dengan yang lainnya. Perkiraan usia di mana anak-anak biasanya mencapai berbagai keterampilan motorik kasar adalah sebagai berikut:2
Pada usia 7 – 9 bulan sudah mulai dapat merangkak
Pada usia 12 bulan sudah mulai dapat berjalan dengan bantuan
Pada usia 12 – 16 bulan sudah mulai dapat berjalan tanpa bantuan
Pada usia 18 bulan sudah mulai dapat berlari dan juga dapat menaiki tangga dengan bantuan
Pada usia 2 tahun sudah mulai dapat menaiki tangga tanpa bantuan
Pada usia 3 tahun sudah mulai dapat menuruni tangga dengan bantuan dan pada tahun ke 4 dapat menuruni tangga tanpa bantuan
Perkembangan cara berjalan dimulai setelah anak melalui batu lompatan perkembangan yang sebelumnya sudah dijelaskan. Saat otot, tulang, dan sendi anak sudah cukup kuat maka secara alami anak akan berusaha untuk berjalan mandiri tanpa tumpuan dan bantuan. Anak- anak biasanya memiliki ciri khas saat berjalan yaitu jarak antar kaki yang lebar (mengangkang), lutut, panggul dan tangan yang sedikit tertekuk serta gerakan yang sering timbul secara tiba-tiba.2
Seiring perkembangan dan pematangan sistem saraf dan otot pada anak, ciri- ciri yang biasa dijumpai pada anak akan menghilang perlahan- lahan, gerakan menjadi lebih halus, langkah menjadi lebih panjang dan kecepatannya juga akan semakin bertambah. Pada usia 3 sampai 5 tahun, anak akan mencapai gerakan berjalan yang sama dengan manusia dewasa.2
Fungsi dari Gait atau cara berjalan adalah untuk menghantarkan seseorang dari satu titik ke titik lainnya. Energi yang dibutuhkan untuk berjalan dapat dihitung berdasarkan oksigen yang diambil dan terpakai, pada anak- anak dibawah usia 12 tahun energi yang dibutuhkan lebih banyak daripada remaja. System syaraf berperan penting pada cara berjalan anak karena cara berjalan anak berubah sepanjang proses pematangan system syaraf. Bayi biasanya berjalan dengan lutut dan lengan yang tertekuk dan lebih mengangkang daripada anak- anak yang berusia lebih tua. Jika terdapat gangguan pada system syaraf contohnya cerebral palsy maka cara berjalan yang normal juga akan terganggu.1
Cara berjalan terdiri dari dua fase yaitu, fase Stance dan Swing. Stance phase adalah waktu diantara kaki kontak dengan tanah dan menyokong berat tubuh. Kebalikannya adalah swing phase yang berarti kaki atau anggota tubuh terangkat dari tanah dan maju ke depan. Stance phase mengambil hamper 60% dari siklus berjalan sedangkan Swing phase hanya 40% dari seluruh siklus berjalan. Kedua fase ini dapat dibagi lebih lanjut :1
Fase ini dimulai saat kaki menginjak tanah, sering juga disebut heel strike atau initial contact. Selanjutnya, respon terhadap gaya tersebut muncul sebagai plantar fleksi pada kaki. pada saat midstance tulang tibia maju kedepan dan akhirnya tumit terangkat pada saat- saat terakhir dari fase ini. Pada fase ini dapat dibagi menjadi fase Single limb support dan double limb support.
2. Swing phase
Fase ini terdiri dari tiga subfase yang berbeda yaitu, initial swing, midswing, dan terminal swing. Initial swing dimulai saat jari- jari kaki terangkat dan selanjutnya kaki terangkat dari tanah sehingga anggota tubuh maju kedepan. Midswing dimulai saat kaki yang berayun melewati kaki sebelahnya yang bertumpu, lutut ekstensi atau menjulur dan kaki bergera maju sesuai arah Swing arc.Terminal swing muncul di akhir fase ini sebagai gerakan otot yang menghentikan gerakan mengayun dari kaki yang berayun kedepan, dan mempersiapkan kontak awal dengan tanah, akhirnya satu siklus berjalan sudah lengkap.
Sumber : Tachdjian’s Pediatric Orthopaedics Sixth Edition. Gait Analysis.
Waktu yang dibutuhkan pada setiap fase berjalan ini sama pada setiap individu normal. Pada saat kecepatan berjalan seseorang meningkat, waktu yang dialokasikan untuk subfase Double limb support berkurang. Saat berlari, subfase Double limb support tidak ada atau hilang dan digantikan dengan double limb float, ini adalah periode disaat kedua kaki tidak ada yang menginjakkan tanah.1
Pemeriksaan cara berjalan dapat didasarkan pada 3 cara yang berbeda:2
Evaluasi cara berjalan merupakan bagian dari standar pemeriksaan skrining dan biasanya dilakukan di area terbuka yaitu ruang praktek dokter.Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
2. Pemeriksaan observasi klinis
Algoritma pemeriksaan cara berjalan anak
Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
Di ruang praktek dokter, sang anak diobservasi cara berjalannya dari depan,belakang dan kedua sisi jika memungkinkan. Perhatikan juga sepatu anak untuk melihat adanya pemakaian sepatu yang abnormal. Menipisnya sepatu pada bagian tumit (tanda panah merah) adalah bukti adanya equinus gait pada kaki kiri anak tersebut. Menipidnya sepatu pada bagian jari kaki mengindikasikan adanya derajat equinus yang lebih parah (tanda panah kuning) pada anak dengan spastik diplegia.
Sumber : Fundamental of Pediatric Orthopaedics Fifth Edition. Gait Evaluation.
3. Analisa cara berjalan dengan instrumentasi
Cara berjalan dapat diperiksa menggunakan kamera video untuk merekam dan mengobservasi secara visual. Cara yang lebih canggih dapat juga digunakan, termasuk dinamik elektromiografi, selanjutnya nilai yang didapat akan dibandingkan dengan nilai yang normal.
Sumber : Tachdjian’s Pediatric Orthopaedics Sixth Edition. Gait Analysis.
Terdapat berbagai kelainan kongenital pada tungkai bawah yang dapat mempengaruhi perkembangan pola berjalan dan pada akhirnya mengakibatkan kelainan atau abnormalitas pada siklus gait seorang anak. Beberapa kelainan kongenital tersebut antara lain:3
Fibular hemimelia à kelainan kongenital yang ditandai adanya kegagalan pembentukan sebagian atau seluruh tulang fibula yang mengakibatkan terjadinya subluksasi talokalkaneal ke sisi lateral. Secara anatomis, kasus agenesis fibula ini dapat diklasifikasikan menjadi:
Klasifikasi Avhterman-Kalamchi |
|
Tipe IA |
Epifisis proksimal fibula distal terhadap lempeng pertumbuhan dan berukuran lebih kecil, lempeng pertumbuhan distal terletak lebih proksimal |
Tipe IB |
>50% fibula proksimal tidak terbentuk, distal fibula terbentuk namun tidak dapat memopong sendi pergelangan kaki |
Tipe II |
Fibula tidak terbentuk sama sekali |
Secara fungsional, kelainan ini dapat diklasifikasi sesuai klasifikasi Birch:
Klasifikasi Birch |
|
Tipe I |
Kelainan pembentukan fibula dengan pergelangan kaki yang stabil namun mengakibatkan kelainan panjang tungkai kanan dan kiri |
IA |
Pemendekan 0% - < 6% |
IB |
Pemendekan 6% - 10% |
IC |
Pemendekan 11 – 30% |
ID |
Pemendekan >30% |
Tipe II |
Kelainan pembentukan fibula dengan pergelangan kaki yang tidak stabil |
IIA |
Ekstremitas atas normal |
IIB |
Terdapat kelainan fungsional ekstremitas atas |
Gambar X. Fibular hemimelia Tipe II
Gambar X. Gambaran radiologis dan klinis hemimelia fibula
Proximal focal femoral deficiency (PFFD) à Pembentukan abnormal proksimal femur dan asetabulum yang mengakibatkan adanya gangguan stabilitas dan mobilitas sendi panggul dan sendi lutut, serta mengakibatkan malorientasi, malrotasi, kelainan panjang tungkai, dan kontraktur jaringan lunak pada panggul dan lutut. PFFD dapat diklasifikasi menurut osifikasi tulang femur dan range of motion sendi panggul dan lutut.
Klasifikasi Paley |
|
Tipe I |
Tulang femur intak, pergerakan sendi panggul dan lutut normal Osifikasi femur proksimal normal Osifikasi femur proksimal terlambat |
Tipe II |
Pseudoartrosis mobil dengan sendi lutut normal Kaput femur dapat bergerak dalam asetabulum Kaput femur tidak terbentuk atau kaku di asetabulum |
Tipe III |
Defisiensi diafisis femur Pergerakan lutut > 45o Pergerakan lutut < 45o Femur tidak terbentuk |
Tipe IV |
Defisiensi distal femur |
Pseudoartrosis kongenital tibia à Kelainan diafisis tibia yang mengakibatkan peningkatan terjadinya fraktur patologis dan pembentukan kista dalam kavitas medular tulang. Ditandari dengan terjadinya tulan tibia yang melengkung secara anterolateral sejak awal kehidupan dan disertai adanya pseudoartrosis primer atau sekunder. Klasifikasi Anderson membagi pesudoartrosis tibia berdasarkan kondisi morfologi tulan; displastik, kistik, late, dan clubfoot. Klasifikasi El-Rosasy-Paley membagi pseudoartrosis berdasarkan beberapa parameter.
Klasifikasi El-Rosasy-Paley |
|||
|
Ujung tulang berdasarkan X-ray |
Pergerakan pseudoartrosis |
Riwayat operasi |
Tipe I |
Atrofik |
Mobil |
Tidak |
Tipe II |
Atrofik |
Mobil |
Operasi gagal |
Tipe III |
Hipertrofik |
Kaku |
Ya / tidak |
Gambar X. Pseudoartrosis tibia
Pola jalan (gait) abnormal
Gait patologis dapat disebabkan berbagai penyebab namun pada dasarnya akan mempengaruhi setidaknya salah satu dari empat kategori fungsional, antara lain:4
Deformitas fungsional terjadi apabila terjadi gangguan jaringan lunak yang mengakibatkan hambatan mobilitas (pergerakan) pasif sendi sehingga kemampuan anak untuk mempertahankan postur dan range of motion normal terganggu, terutama saat berjalan. Gangguan deformitas fungsional paling sering disebabkan karena adanya kontraktur, permukaan sendi yang abnormal, dan ankilosis. Pada pergelangan kaki, kontraktur fleksi plantar mengganggu pergerakan jalan terutama pada stance phase dan swing phase. Kontraktur pada sendi lutut menghambat pergerakan saat swing phase saat mobilitas paha dan juga meningkatkan energi yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas lutut. Kontraktur pada sendi panggul mengakibatkan peningkatan gaya yang terjadi pada punggung dan ekstensor panggul.
Kelainan yang mengakibatkan otot melemah seperti poliomyelitis, Guillain-Barre syndrome, distrofi otot, dan atrofi otot. Meskipun mengganggu pergerakan pada awalnya, anak biasanya akan menemukan cara atau mengendalikan otot lain untuk membantu dalam menjaga stabilitas dan pergerakan. Apabila kelainan ini disertai gangguan pengendalian otot atau kontraktur pada otot cadangan, maka dapat mengakibatkan otot tersebut overuse atau terlalu dipaksakan sehingga cepat kelelahan.
Disebaban karena adanya penurunan propriosepsi sehingga anak tersebut tidak mengetahui posisi tungkainya dengan pasti saat bergerak, sehingga menghambat kemampuan tubuh untuk melakukan pergerakan-pergerakan mikro dalam menjaga stabilitas.
Nyeri yang berasal dari sendi dapat mempengaruhi pola jalan anak karena anak akan cenderung untuk menghindari posisi atau pergerakan yang menimbulkan nyeri tersebut. Nyeri yang disebabkan karena deformitas atau peningkatan tekanan sendi menyebabkan anak untuk tidak dapat mempertahankan postur normal saat berdiri tegak atau berjalan.
Masing – masing kondisi ini dapat menyebabkan bermacam- macam pola berjalan yang salah atau lebih dikenal dengan “pincang”.5
Beberapa pola berjalan yang salah antara lain :5
3. Spastic Gait seperti yang sering dijumpai pada pasien Cerebral Palsy, hal ini dikarenakan adanya ketidakseimbangan aktivitas antar otot dan juga otot biasanya lebih tegang.
4. Proximal Muscle Weakness Gait sering dijumpai pada anak- anak dengan gangguan Muscular Dystrophy. Saat mencoba berdiri, anak menggunakan tangan dan lengannya untuk menopang dan berdiri.
5. Short Limb Gait seringklai ditemu pada anak dengan panjang kaki yang berbeda. Untuk mengimbangi kaki yang lebih panjang, anak akan berjalan dengan menggunakan jari- jari kaki pada kaki yang lebih pendek.
Jun 02, 2021
See More
Apa Itu Osteoarthritis Lutut
Apa itu Osteoarthritis lutut
Osteoarthritis masih merupakan istilah yang kurang populer di masyarakat awam. Osteoarthritis atau lebih mudahnya disingkat OA merupakan suatu kondisi sendi yang sangat umum ditemukan terutama pada usia lanjut, walaupun tidak menutup kemungkinan OA ini bisa terjadi pada usia lebih muda.
Di sisi lain, istilah “pengapuran sendi” merupakan istilah yang cukup sering kita dengar sehari-hari. Akan tetapi, terminologi “pengapuran sendi” ini sering kali menimbulkan persepsi yang menyimpang dalam benak awam. Kata pengapuran sendi ini dalam Bahasa Indonesia sebenarnya merujuk pada osteoarthritis sendi.
Pada era keterbukaan informasi seperti saat ini, informasi-informasi seputar kesehatan sangat mudah untuk didapatkan, baik informasi yang benar maupun informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini tentunya dapat merugikan seseorang yang sedang mengalami kondisi penyakit. Begitu banyak informasi yang diterima, baik melalui internet, majalah, media sosial, bahkan sampai komentar atau pendapat awam disekitarnya. Apabila seseorang mengeluhkan kondisi nyeri lutut, dalam sekejap tiba-tiba semua orang dekat maupun kerabat segera melontarkan seribu satu pendapat dan solusi yang mereka klaim adalah yang terbaik. Segala teori baik ilmiah maupun adat kebiasaan membanjiri pikiran anda dalam sekejap mata. Dalam artikel ini penulis mengajak para pembaca untuk mengenal lebih dalam apa yang dimaksud dengan osteoarhritis (OA) lutut.
Kata pengapuran sendi mempunyai arti yang cukup membingungkan untuk orang awam. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata “pengapuran” ini adalah pengerasan karena terbentuknya garam kalsium pada jaringan daging, tulang, atau gigi. Pengapuran sendi bagi orang awam sering memberi pengertian salah bahwa ada suatu zat kapur pada sendi, padahal arti dari istilah pengapuran sendi tersebut melenceng jauh dari zat kapur pada sendi.
Pengapuran sendi lutut sebenarnya adalah suatu gangguan sendi perifer kompleks dengan faktor resiko multipel yang dinamakan sebagai osteoarthritis (OA). OA lutut merupakan jenis arthritis lutut tersering yang ditemukan (selain arthritis rheumatoid, arthritis paska trauma dan lain sebagainya). Kondisi ini terjadi paling sering pada individu berusia 50 tahun keatas, tetapi dapat juga terjadi pada usia lebih muda. Osteoarthritis diakui sebagai masalah kesehatan publik mayor. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab utama disfungsi individu yang mengurangi kualitas hidup di seluruh dunia. Beban penyakit OA lutut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan bertambahnya masalah obesitas dan usia.
Gambar 1. Ilustrasi sendi normal (kiri) dan sendi OA (kanan)
Pada OA lutut terjadi disintegrasi
|
|
|
|
struktur tulang rawan sendi lutut menjadi lebih lunak dan rusak, disertai pertumbuhan tulang rawan baru yang tidak sempurna, dan taji (osteophytes) disekitar sendi (gambar 1). Fakta basis molekular dari OA sudah diterima oleh ilmuwan diseluruh dunia. Walaupun kalangan medis dan ilmuwan menerima bahwa OA berhubungan dengan beban mekanik repetitif, genetik dan penuaan, penyebab pasti dari OA masih belum diketahui.
Nyeri, bengkak dan kaku sendi merupakan gejala utama pada arthritis sendi. Gejala lain juga terdapat kelemahan otot paha, deformitas bentuk tungkai (kaki O / kaki X) atau bunyi sendi saat ditekuk-luruskan akibat pergesekan permukaan sendi yang tidak rata. Kelemahan otot yang terlibat dalam fungsi sendi lutut akan memperburuk kondisi seseorang, dimana kemampuan individu untuk beranjak dari duduk, berjalan, atau naik tangga akan terganggu.
Secara garis besar, gejala OA lutut ditandai oleh perubahan struktural di “dalam” dan di “sekitar” lutut. Hal ini meliputi lapisan tulang rawan yang hilang/terkikis, pembentukan osteophytes. Hal tersebut dapat didemonstrasikan dengan pemeriksaan Xray, dimana tingkat keparahan OA lutut dinilai dari berkurangnya celah sendi (joint space loss) dan munculnya “taji” (osteophytes).
Gambar 2. Xray lutut normal (kiri) dan lutut OA (kanan)
Selain perubahan pada struktur “keras” diatas, juga terjadi perubahan pada jaringan lunak, diantaranya adalah: hiperplasia sinovium dan efusi sendi (produksi cairan sendi berlebih).
Faktor resiko mayor dari OA lutut adalah usia, obesitas, trauma sendi, beban kerja berat. Faktor-faktor resiko OA lutut dapat dikategorikan ke dalam faktor resiko sistemik (usia, jenis kelamin, genetik, dan overweight), dan faktor biomekanik lokal (cedera sendi, malalignment, dan kelemahan otot). Penuaan / usia merupakan faktor utama pada kondisi OA. Dampak obesitas terhadap OA adalah melalui penyaluran beban berlebih pada sendi sehingga menyebabkan kerusakan pada lapisan tulang rawan sendi. Obesitas bukan hanya mempengaruhi OA melalui proses mekanikal beban, melainkan juga melalui jalur metabolik.
Cedera sendi bukan merupakan hal yang dapat dianggap remeh. Cedera sendi meningkatkan resiko OA sebesar 3x pada wanita dan 5-6x pada pria. Struktur sendi yang tercedera seperti ACL (anterior cruciate ligament, meniscus/bantalan sendi) terbukti dapat meningkatkan kejadian OA dalam beberapa tahun paska trauma.
Beban aktivitas fisik dan kerja yang berat juga merupakan faktor resiko penting terhadap OA. Beban aktivitas berat dapat meningkatkan resiko OA pada individu dengan obesitas, terutama yang melibatkan posisi menekuk lutut berulang atau menumpu beban berat. Di sisi lain, aktivitas fisik sedang dan reguler seperti jogging ringan, atau aktivitas fisik rekreasional dengan intensitas sedang dapat mengurangi insidens OA lutut, dengan syarat tidak ada cedera lutut sebelumnya.
Tujuan utama dan terpenting dari tatalaksana OA lutut adalah mengendalikan nyeri dan memperbaiki fungsi sendi lutut. Penanganan OA lutut tidak selalu harus dicapai dengan operasi. Tatalaksana OA lutut harus didasarkan pada evaluasi riwayat pasien secara menyeluruh, pemeriksaan fisik paripurna, dan pemeriksaan radiologis yang sesuai. Progresivitas OA yang bersifat cenderung lambat, memberi peluang bagi klinisi untuk melakukan pendekatan tatalaksana yang algoritmik dan tertata. Formulasi tatalaksana OA bersifat individual untuk tiap orang, tiap pemberi pelayanan kesehatan harus melihat lebih dekat tiap aspek kehidupan yang bersangkutan dengan kondisi OA.
Secara garis besar, tatalaksana OA lutut dapat dibagi ke dalam 2 kelompok besar:
Non operatif
Non-farmakoterapi (edukasi, kontrol faktor mekanik, alat bantu berjalan, ice & heat)
Terapi manual (taping, electrotherapy, dll)
Latihan fisik (penguatan otot, peregangan otot)
Farmakoterapi / obat minum
Terapi simtomatis (Genicular nerve radiofrequency ablation)
Operatif
Tatalaksana operatif merupakan momok bagi masyarakat, khususnya di Indonesia. Kata “operasi” selalu dikaitkan dengan ketakutan dan horor bagi individu yang mendapat penjelasan dari pemberi layanan kesehatan. Ini merupakan salah satu penyebab mengapa awam sangat enggan untuk berkonsultasi dengan pemberi layanan kesehatan, oleh karena stigma operasi yang sangat menakutkan melekat di benak awam.
Tidak semua OA lutut membutuhkan penanganan operasi, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal identifikasi sumber nyeri lutut, kondisi fisik dan psikologis pasien, derajat keparahan OA lutut, dan harapan serta realita yang bisa tercapai melalui pilihan-pilihan penananganan OA lutut. Penulis ingin mengajak masyarakat untuk bersikap rasional dalam hal penanganan OA lutut. Sangat diperlukan transfer informasi yang tepat dan akurat mengenai OA lutut yang diberikan oleh pemberi layanan kesehatan yang kompeten. Hal ini diperlukan untuk menghindari informasi-informasi tidak akurat yang didapat, yang akhirnya diadopsi oleh awam dan pada akhirnya akan menyebabkan persepsi awam yang makin menyimpang.
Penanganan operatif pada OA lutut diformulasikan seakurat mungkin untuk mengidentifikasi masalah tiap individu kemudian menuangkannya dalam suatu prosedur operasi yang diperhitungkan secara matang dalam rangka mencapai tujuan akhir terapi
Gambar 3. Ilustrasi tatalaksana operatif
Joint replacement
yaitu: mengontrol nyeri dan merestorasi fungsi sendi lutut. Hal ini dapat dicapai melalui:
|
|
|
|
Join replacement
Re-alignment osteotomy & biological engineering
Kesimpulan
OA lutut merupakan masalah publik global dan merupakan penyebab disabilitas kronik pada populasi dewasa tua. Gejala OA meliputi gangguan fungsi signifikan, dan juga gejala serta tanda peradangan seperti nyeri, bengkak dan hilangnya mobilitas. Tatalaksana non-operatif telah terdokumentasi efektif dapat mengurangi nyeri dan disabilitas. Tatalaksana operasi
bila dilakukan dengan selektif dan tepat dapat mengembalikan kualitas hidup tiap individu untuk dapat berfungsi di lingkungan sosial dengan baik.
Penulis : dr. Ricky Edwin Pandapotan Hutapea, Sp.OT(K)
May 24, 2021
See More
Osteoarthritis, apa penyebab, gejala, da...
Osteoarthritis, apa penyebab, gejala, dan tatalaksananya
Konten Media Sosial PABOI, Narasi Awam
Prof. Dr. dr. Ismail Hadisoebroto Dilogo, Sp.OT(K)
Osteoarthritis merupakan penyakit kronis pada sendi dimana terjadi peradangan dan pengapuran pada sendi akibat kerusakan tulang rawan. Penyakit ini merupakan penyakit pada sendi yang paling sering dialami oleh masyarakat di dunia. Pada osteoarthritis, terjadi penipisan dari tulang rawan dan akan semakin memburuk jika tidak ditangani sejak dini. Mengingat fungsi tulang rawan ini adalah sebagai pelindung agar tulang tidak saling bergesekan secara langsung, pada osteoarthritis terjadi gesekan antar tulang di sendi ketika bergerak. Meskipun dapat terjadi pada semua sendi, osteoarthritis lebih sering terjadi di sendi – sendi besar penopang berat badan tubuh seperti di lutut, pinggul, dan tulang belakang.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami osteoarthritis meliputi:
Gejala awal yang dirasakan pada osteoarthritis antara lain :
Untuk dapat memastikan diagnosis ini tentunya dokter akan melakukan wawancara medis dan pemeriksaan terlebih dahulu, juga ditunjang dengan pemeriksaan rontgen hingga MRI pada sendi yang dikeluhkan.
Penanganan osteoarthritis dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan obat dan tanpa obat. Untuk penanganan tanpa obat, yang terpenting adalah modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang dimaksud disini adalah mengurangi berat badan, menjaga pola makan, memilih olahraga yang tidak membebani sendi (Contoh pada lutut, pilihan olahraga seperti berenang atau sepeda statis) dan latihan penguatan otot. Tanpa modifikasi gaya hidup yang disiplin, maka penanganan dengan obat juga tidak dapat maksimal.
Penanganan dengan obat pada osteoarthritis berjenjang, dimulai dari obat anti nyeri seperti paracetamol dan anti-radang hingga ke obat dengan anti-nyeri dengan golongan yang lebih kuat. Selain itu, fisioterapi juga sangat penting dalam penanganan osteoarthritis, khususnya untuk melatih kekuatan otot sekitar sendi, meningkatkan kelenturan, dan mengurangi nyeri. Jika dirasa terlalu repot untuk ke rumah sakit untuk fisioterapi, fisioterapi juga dapat dilakukan secara mandiri seperti berenang.
Pada kasus dimana penanganan dengan obat dan fisioterapi belum memberikan perbaikan, pengobatan dengan injeksi dapat dipertimbangkan terutama untuk mengatasi gejala jangka pendek. Injeksi dimulai dengan menggunakan anti-radang hingga pelumas sendi efektif dalam mengurangi gejala pada osteoarthritis. Pada kasus yang berat dan lanjut usia, operasi hingga penggantian sendi merupakan pilihan yang tepat.
Daftar Pustaka :
May 19, 2021
See More
Manfaat Olahraga Golf Bagi Kesehatan Tul...
Apa saja manfaat olahraga Golf bagi kesehatan tulang?
Paparan matahari saat bermain golf sangat bermanfaat bagi terpenuhinya kebutuhan vitamin D. Sumber utama yang baik bagi tubuh untuk mendapatkan vitamin D adalah melalui paparan langsung matahari terhadap tubuh kita. Dengan olahraga golf kita bisa mendapatkan vitamin D langsung dari paparan matahari terhadap tubuh kita. Vitamin D yang kita dapatkan saat bermain golf sangat kita butuhkan untuk kesehatan tulang kita, dimana kita ketahui bahwa kunci utama penyerapan mineral untuk tulang adalah vitamin D. Oleh karenanya olahraga golf sangat berperan dan bermanfaat bagi kesehatan tulang demi terpenuhinya kebutuhan vitamin D untuk penyerapan mineral tulang. Vitamin D menjadi kunci penyerapan mineral ke dalam tulang seperti kalsium dan fosfor. Kekurang vitamin D akan menyebabkan terganggunya penyerapan kalsium, akibatnya tubuh kekurangan kalsium yang dibutuhkan untuk Kesehatan dan kekuatan tulang.
Olahraga golf juga membuat otot otot kita bergerak dan terlatih sehinggga otot otot kita menjadi kuat sehingga secara otomatis membuat tulang kita menjadi kuat karena tulang tulang kita dihubungkan oleh otot. Otot kuat maka tulang kita akan menjadi kuat.
Olahraga golf juga sangat bermanfaat bagi penderita osteoporosis dalam memperkuat tulangnya. Seperti kita ketahui penyakit osteoporosis merupakan penyakit kedua setelah penyakit kardiovaskular sebagai masalah kesehatan utama. Menerapkan program latihan dapat membantu mencegah atau mengobati osteoporosis dengan meningkatkan kekuatan otot, menjaga tulang tetap kuat dan meningkatkan keseimbangan untuk membantu menghindari jatuh. Golf terbukti bermanfaat sebagai olahraga bagi kebanyakan penderita osteoporosis, Olahraga golf dapat membantu memberikan tekanan yang tepat pada tulang untuk membantu mereka menjaga kepadatan dan kekuatan tulang.
Dr Andi Nusawarta, MKes, SpOT(K-Sport)
May 18, 2021
See More